Dutanusantarafm.com- Jumlah anak dengan kondisi gizi buruk atau stunting di Kabupaten Ponorogo tinggi. Sesuai hasil Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) yakni mencapai 20 persen, dari total populasi anak saat ini. Salah satu pemicunya yakni akibat masih maraknya pernikahan dini.
Kepala Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (PPKB) setempat, Harjono mencatat dari lima anak satu diantaranya dinyatakan stunting. Meski tinggi, angka tersebut masih dibawah rata rata Provinsi Jawa Timur yang mencapai 23,50 persen.
“Sedangkan target presiden, 2024 harus 14 persen. Ini jadi pekerjaan rumah bersama, karena stunting tidak hanya tanggung jawab PPKB,” saat ditemui diruang kerjanya pada Kamis (30/06 2022).
Harjono mengatakan ada beberapa faktor penyebab terjadinya stunting pada anak tersebut. Mulai dari kondisi ibu saat hamil, hingga penyiapan asupan gizi pada usia 1000 hari pertama anak.
“Kuncinya ada di gizi atau asupan makanan, dan kesiapan ibu saat mengandung. Jika dua faktor ini disiapkan dengan baik, maka stunting bisa diminimalisir,” jelasnya.
Menurut Harjono, stunting merupakan kondisi gagal tumbuh pada anak balita atau bayi di bawah 5 tahun. Itu terjadi akibat kekurangan gizi kronis, sehingga muncul berbagai gejala kurang baik bagi kesehatan. Seperti pertumbuhan melambat, mulai dari gigi serta kemampuan berfikir.
Kekurangan gizi, biasanya terjadi sejak bayi dalam kandungan pada masa awal setelah bayi lahir. Namun, kondisi stunting baru nampak setelah bayi berusia dua tahun.
Padahal, lanjut Harjono kondisi stunting akan berdampak serius pada tumbuh kembang anak di masa berikutnya. Mulai dari rentan tertular penyakit, tumbuh kembang otaknya tidak maksimal, hingga mundurnya masa menstruasi pada anak perempuan.
Ada berbagai faktor yang bisa memicu terjadinya stunting pada anak. Pertama, yakni penyebab langsung. Seperti usia ibu hamil terlalu muda, yakni dibawah 20 tahun atau terlalu tua yaitu diatas 35 tahun. Pada usia tersebut, ibu berisiko tinggi melahirkan bayi dengan kondisi stunting. Karena, perubahan hormon pada usia tersebut bisa tidak stabil dan mampu menyebabkan ibu menderita anemia.
“Ketika ibu mengalami anemia, ini nanti akan berdampak pada kondisi janin yang dikandung. Maka dari itu, kenapa ibu tidak boleh menderita anemia saat sedang hamil,” imbuhnya.
Untuk mencegah hal tersebut, Harjono menghimbau agar para orang tua lebih fokus dalam memberikan asupan nutrisi kepada janin dan anak- anak mereka. Khususnya, untuk kebutuhan zat besi sebagai komponen utama dalam tumbuh kembang anak. Komponen itu bisa diperoleh dari daging, telur, kacang-kacangan serta sayuran hijau.
Akibatnya, perkembangan janin lambat, berat badan lahir rendah (BBLR), kelahiran prematur, serta risiko kerusakan organ vital seperti otak dan jantung.
Sedangkan penyebab tidak langsung, yakni perencanaan keluarga yang tidak tepat. Seperti terlalu muda atau tua, saat melahirkan. Kemudian, jarak serta terlalu banyak melahirkan.
“Agar bayi terhindar stunting, minimal harus ada jarak dua tahun dari kehamilan sebelumnya. Dan juga jangan terlalu sering hamil,” tuturnya.
Karena itu, lanjut pria yang sudah enam tahun menjabat itu pihaknya juga getol mengedukasi masyarakat terkait pentingnya menjaga kesehatan dan juga asupan nutrisi bagi ibu dan bayi. Salah satunya dengan merealisasikan program elsimil. Yakni, program deteksi dini bagi kesiapan calon ibu hamil.
“Termasuk pernikahan dini, sangat kami sarankan agar jangan sampai terjadi. Ini sangat berisiko terhadap kondisi bayi, juga temasuk kaitannya dengan kesejahteraan keluarga nantinya,” tegasnya. (Umi Duta)