Dutanusantarafm.com – Tekan praktik penyakit masyarakat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Ponorogo, menyisir sejumlah warung kopi yang diduga sebagai tempat transaksi. Titik tersebut diantaranya ada Warung Pasar Janti, Kedung Banteng dan Siman.
Kasatpol PP Ponorogo, Joni Widarto menuturkan sejak masuk tahun 2023 lalu, pihaknya sudah mulai aktif melakukan sosialisasi terkait penyakit masyarakat (pekat) tersebut.
“Sejak Jumat minggu lalu, kami sudah berkeliling untuk edukasi dan sosialisasi terkait praktik-praktik penyakit masyarakat itu,” katanya, Kamis (12/1/2023).
Ketiga titik tersebut, kata Joni rata-rata berbentuk warung kopi atau warung ayu. Setiap warung, biasanya menyediakan dua sampai tiga kamar untuk bertransaksi. Jumlah warungnya pun beragam, ada yang 15 warung hingga 25 warung kopi.
“Setelah kota edukasi dan sosialisasi, alhamdulillah untuk Kedung Banteng sudah tutup. Kedepan Warung Janti dan Siman juga demikian,” imbuhnya.
Terkait razia yang dilakukan di Pasar Janti, Selasa (10/1/2023) lalu timnya berhasil mendata dua pasangan bukan suami istri. Dari keempat orang tersebut, dua pria berasal dari Kecamatan Babadan dan satu perempuan dari Kabupaten Kediri, serta satu lainnya dari Tulungagung.
“Saat kita razia, mereka sedang berada dalam kamar. Yang laki-laki dari Babadan, sedangkan perempuannya dari luar kota,” tuturnya.
Dalam razia kali ini, kata Joni aparat penegak perda tersebut masih sebatas mengingatkan dan edukasi terkait tindakan pelanggaran hukum. Jika satu minggu kedepan, masih tidak jera maka aparat tidak segan- segan menangkap dan menyerahkan mereka ke pihak berwajib.
“Saat ini mereka kami data, dan kami serahkan ke Dinas Sosial dan PPPA untuk proses rehabilitasi,” imbuhnya.
Menurut Joni, masih adanya praktik prostitusi di sejumlah warung remang-remang, ternyata banyak dimanfaatkan oleh para Wanita Pekerja Seks (WPS) luar kota. Sedikitnya dari belasan perempuan yang di data Satpol PP Ponorogo, 70 persen berasal dari Tulungagung, Kediri, Ngawi, Pacitan bahkan ada yang dari Nganjuk dan Jombang.
“Usianya beragam, ada yang 19ntahun, 20 tahun, dan 25 Tahun. Tetapi yang 40 tahun juga masih banyak,” terangnya.
Selain alasan klasik seperti ekonomi, kata Joni para WPS itu mengaku jika mereka kesulitan mencari pekerjaan lain. Sehingga, memilih untuk terjun ke dunia esek-esek tersebut.
“Kami juga sudah mengamankan mucikarinya. Dan kami akan terus melakukan sosialisasi dan edukasi kepada mereka. Termasuk dengan menggandeng Forkopimcam serta komunitas dan warga setempat,” tegasnya. (Umi Duta)